TUNGGU AKU DI BOULEVARD Kontributor: Taufik Sutan Makmur (Yogyakarta) Annida - Jakarta, Kenalan, Yuk! Lorita --send Satu kalimat yang mengawali kisah ini. Dikirimkan dengan niat “iseng saja” kepada seseorang pemilik e-mail hellen@hotmail.com. tidak satupun yang bisa diidentifikasi tentang dia. Entah siapa dia? Seperti apa rupa dan bentuknya? Dan seperti apa suara dan senyumnya? Cantikkah dia? Entahlah. Kadang di dunia maya hal-hal seperti itu tidak penting, asal ia bisa menulis kata-kata dengan baik dan dapat bertukar fikiran dengan kata-kata itu. Sudah cukup. Alamat hellen@hotmail.com secara tidak sengaja aku temukan pada surat pembaca dalam sebuah majalah remaja edisi awal tahun. Usulnya sederhana saja: “Tolong rubrik untuk laki-laki diperbanyak. Terima kasih.” Aneh. Dua hari kemudian e-mailku berbalas. Lorita. Hellen terima e-mailmu Bersahabat itu menyenangkan Bukankah begitu. Hellen --hellen wrote: Satu lagi dunia maya memberiku sahabat. Reply: Hellen. Senang kamu membalas e-mailku Kukira ini awal yang baik untuk sebuah persahabatan Apa yang bisa kuketahui lebih lanjut tentang dirimu? Lorita ---send Dua hari kemudian dibalas Hellen. Saya Hellen Suzetta, female, tinggal di Yogyakarta, semester tiga Fakultas Ekonomi, Gadjah Mada. You? Hellen ---hellen wrote: Reply: Hellen. Saya Lorita Anggraini, female, semester lima di Fakultas Hukum UII. Kita tinggal di kota yang sama. Di mana alamatmu? Lorita ---send Aku tinggal di Baciro Hellen ---hellen wrote: Hanya itu. Tak ada spesifikasi lain. Tak ada nomor rumah, apalagi nomor telpon. Tapi nggak apa-apa, bisa berkomunikasi saja sudah merupakan awal yang baik. Reply: Hellen. Aku tinggal di Wirobrajan Lorita ---send Seterusnya luar biasa. Ternyata Hellen adalah sahabat yang menyenangkan. Sedikit demi sedikit ia mulai terbuka tentang dirinya padaku. Lewat e-mail kami berdua bebas bicara apa saja termasuk masalah-masalah sensitive kaum female. Kami seperti sangat dekat walaupun belum pernah bertemu. Hellen pernah mengatakan kalau aku adalah sahabat yang paling penting dalam hidupnya, dan teman curhatnya yang paling ia percaya. Aku pikir-pikir, tidak ada salahnya untuk menerima pujiannya itu. Lorita. Terima kasih telah memberi nasehat padaku dan menyarankan untuk memakai jilbab. Tapi bukankah kita kaum hawa akan lebih menarik bila tampil seksi? Hellen ---hellen wrote: Reply: Menarik menurut siapa, Hellen? Lorita ---send Tentu saja menurut laki-laki Hellen --hellen wrote: Reply: Bukankah itu namanya pamer tubuh? Lorita ---send Kenapa? Bukankah itu yang terindah yang kita punya, dan kita kaum hawa berhak membanggakannya, dan kaum Adam wajib mengaguminya. Bukankah begitu Lorita? Hellen ---hellen wrote: Reply: Tapi keindahan tidak harus dipertontonkan, bukan? Lorita ---send Memang tidak, tapi bagaimana orang akan tahu kalau kita menyembunyikannya di balik jilbab dan kain-kain yang tertutup rapat? Hellen ---hellen wrote: Reply: Bukankah keindahan yang tersembunyi dan terpelihara jauh lebih bernilai dibanding keindahan yang berserakan? Hellen, di fakmu ekonomi pasti mempelajari bagaimana naik dan turunnya nilai sebuah barang. Bukankah barang yang didapatkan dengan mudah nilainya lebih rendah? Oh ya Hellen, aku ingat kata orang bijak, “Seandainya di dunia ini semuanya emas, maka orang akan mencari pasir.” Jadi tidak ada salahnya membuat diri kita ini langka, bernilai dan dicari. Bukankah demikian lebih terhormat, Hellen? Wassalam Lorita ---send Sahabatku Lorita. Bukankah tampil menarik itu penting? Hellen ---hellen wrote: Reply Sahabatku Hellen. Bukankah lebih banyak hal yang menarik untuk ditampilkan selain tubuh? Kepribadian, karakter, dan kesalehan. Aku kira hal itu bisa membuat kita tampil jauh lebih bermartabat. Maafkan aku kalau menyinggungmu. Lorita --send Lorita. Terima kasih, akan kupikirkan kata-katamu Hellen ---hellen wrote: Setelah itu hampir satu minggu Hellen menghilang dari dunia maya hingga kemudian datang lagi dengan masalah barunya. Hai Lorita! Aku punya masalah lagi nich. Ada seorang cowok yang mendekatiku di kampus. Orangnya nggak cakep-cakep amat, tapi baik. Gimana yaa? Hellen ---hellen wrote: Kali ini aku sedikit tersentak. Ini betul-betul masalah dan aku harus mencari kata-kata terbaik untuk membalas e-mail Hellen. Reply: Hellen. Hati-hati dengan laki-laki. Termasuk mereka yang tampaknya baik. Lorita ---send Lorita, terima kasih telah mengingatkan. Tapi kenapa kamu terlalu jahat pada laki-laki? Bukankah kita ini tercipta untuknya? Hellen ---hellen wrote: Aku hanya senyum sendiri membaca pesan Hellen yang terakhir ini dan tidak punya keinginan untuk membalasnya. Setelah itu aku tenggelam dalam kesibukan kampus dan hampir sebulan tidak menyentuh dunia maya, dan ketika aku kembali: Hai Lorita! Kemana saja kamu? Hellen ---helen wrote: Reply: Aku di sini Hellen, Aku baik-baik saja. Maafkan aku karena lama tidak menghampirimu. Lorita --send Lorita, bukankah kita sudah lama bersahabat dan tinggal di kota yang sama. Bagaimana kalau kita buat rencana untuk sebuah pertemuan? Hellen ---hellen wrote: Reply: Setuju! Lorita ---send Bagaimana kalau minggu depan di Boulevard? Jam 07.00 pagi. Kalau kamu datang duluan, tunggu aku di Gelanggang Mahasiswa di bawah pohon mahoni, Oke? Hellen ---hellen wrote: Reply: Ide yang bagus Hellen. Tapi kalau kamu yang datang duluan, kamu yang tunggu aku di sana yaa! Lorita ---send *** Minggu pagi adalah saat yang indah di Boulevard. Aspalnya yang dingin dan rumputnya yang masih berembun belum terjamah oleh kesibukan apapun di pagi itu. Banyak orang yang datang ke sana lebih awal untuk menjadi yang pertama menghirup udara segar di tempat yang nyaman. Orang-orang tua dan muda, jogging dan berlari-lari kecil tanpa alas kaki, berusaha untuk mengeluarkan setetes keringat untuk kemudian meyakinkan diri bahwa mereka sudah siap menjalani seminggu yang akan datang dalam keadaan sehat. Semula di sini ada satu dua orang yang berjualan makanan dan minuman untuk melayani orang-orang yang habis berolah raga. Mereka menyediakan makanan-makanan hangat untuk sarapan lagi. Lontong opor, kupat tahu, dan gado-gado. Namun lama kelamaan jumlah pedagang lesehan dadakan ini semakin banyak dan memenuhi pinggir jalan sepanjang Boulevard sampai ke Lembah Sekarang Boulevard sudah seperti pasar di pagi minggu. Orang tidak hanya menjual makanan, tapi juga pakaian dan souvenir dari bahan-bahan kulit. Orang yang berjogging dan berolah raga tampak lebih sedikit dibanding mereka yang sekedar nampang, pamer mobil mewah dan cuci mata. Boulevard di Minggu pagi, sekarang bisa menjadi tempat apa saja bagi siapa saja, juga membuat janji untuk bertemu dengan seseorang di Boulevard bukanlah ide yang buruk. *** Pagi itu aku sedikit berdebar, datang lebih awal dari waktu yang sudah kami janjikan. Tapi aku tidak langsung ke Gelanggang menuju pohon mahoni. Ini memang bagian dari strategi yang harus aku lakukan. Aku tak ingin mengagetkan Hellen. Aku harus masuk dalam waktu dan dengan cara yang tepat untuk memberitahu Hellen bahwa Lorita, teman baiknya adalah seorang laki-laki. Pagi itu aku sudah menyiapkan beberapa jurus dan skenario untuk mendatangi Hellen agar ia bisa menerima aku sebagai teman baiknya. Aku memilih sebuah lesehan yang agak sepi yang berada persis di seberang gelanggang dan berjarak seratus meter dari pohon mahoni. Dari sana aku dapat melihat dengan jelas kedatangan Hellen. Aku mengambil tempat di lesehan pojok. Seorang pengunjung laki-laki dengan kaca mata minus sedang serius membaca koran. Aku harus melewati orang itu untuk mengambil tempat duduk. “Permisi, Mas!” sapaku sopan. Sejenak laki-laki itu mengangkat mukanya, “Monggo-monggo!” jawabnya tak kalah sopannya sambil menggeser gelas minumannya untuk memberi jalan padaku. Aku memesan teh hangat dan makanan ringan sambil mengambil posisi duduk di sebelah laki-laki itu. Ketika itu aku mulai menghitung mundur waktu detik demi detik. Kurang sepuluh menit dari jam tujuh. Kurang lima. Sampai jam tujuh tepat. Aku menoleh ke arah pohon mahoni, tapi belum ada siapa-siapa. Saat itu aku mulai memahami keterlambatan sebagai kebiasaan umum, dan untuk menghilangkan kekesalan, aku mengalihkan pandang pada orang yang berlalu lalang. Jam tujuh lewat sepuluh. Jam tujuh lewat seperempat. Jam tujuh lewat tigapuluh menit. Tidak juga ada siapa-siapa di pohon mahoni. Kemudian aku berpaling ke arah laki-laki yang dengan bosan membolak balik halaman korannya. “Pinjam korannya satu, Mas!” pintaku berlagak akrab. Segera laki-laki itu mengulurkan dua lembar koran yang tidak dibacanya padaku. Aku terima koran itu sambil mataku sempat melirik kalung salib yang tersembunyi dibalik kancing atas bajunya. Sebuah simbol yang memberi petunjuk bagaimana aku harus bersikap padanya. Tidak ada minatku sedikitpun untuk membaca koran itu. Aku bolak balik untuk melihat gambarnya tanpa satu pun yang terbaca. Sesekali mataku mengintip ke bawah pohon mahoni. Pada saat aku mencari focus, mataku melihat seorang gadis yang berjalan dari arah selatan menuju ke Gelanggang. Diam-diam aku mengintipnya dari balik koran yang setengah terlipat. Gadis itu berjalan pelan, mengenakan jilbab dengan setelan baju yang pantas. Postur tubuhnya semampai, kulitnya kuning, dan ia berjalan dengan wajah menundukkan pandang. Meski hanya mendapati wajahnya dari arah samping, aku yakin gadis itu sangat cantik. Jantungku berdetak kencang membayangkan apa yang harus aku lakukan sebentar lagi. Kalau memang perempuan itu adalah Hellen, ini benar-benar pekerjaan yang berat. Aku harus menjelaskan pada seorang perempuan sahabatku, bahwa aku adalah laki-laki. Tapi benarkah gadis yang berjalan itu Hellen? Aku ingat Hellen pernah mengatakan bahwa dia tidak memakai jilbab? Tapi gadis ini berjilbab? Atau Hellen sengaja memakai jilbab hari ini buat memberi kejutan pada sahabatnya Lorita. Aku. Entahlah. Aku tambah tak menentu. Jurus-jurus yang sudah aku persiapkan seperti tak bisa membantu. Sementara mataku masih terkesima memandang gadis yang berjalan sendirian mendekati pohon mahoni. Tinggal sepuluh meter lagi jaraknya dari pohon mahoni, gadis itu berjalan pelan. Langkah-langkah kecilnya berhenti berdetak, dan mataku membeliak seperti tanpa pelupuk. “Inikah Hellen itu?” batinku. Tiba-tiba gadis itu berdiri dan terus berjalan. Kali ini langkahnya sudah menjauhi pohon mahoni. “Oh, bukan!” desisku antara lega dan kecewa, sambil melipat koran dan melirik pada laki-laki di sebelahku. Astaga! Ternyata ia tidak sedang membaca koran. Kudapati laki-laki itu ikut juga memplototi gadis yang berjalan di bawah pohon mahoni di balik kacamata minusnya. Mulutnya ternganga dengan kepala sedikit diangkat. Setelah gadis itu menghilang di balik pagar, terdengar olehku hembusan panjang napas laki-laki itu, kemudian ia meneguk segelas teh hangat yang dari tadi tidak disentuhnya. “Ini korannya, Mas!” kataku segera mengembalikan dengan ucapan terima kasih, dan ia menerimanya dengan gugup. “Menunggu seseorang, Mas?” tanyaku berbasa-basi. Laki-laki itu tersenyum sambil mengangguk. Wajahnya yang tampak dua tahun lebih tua dariku masih menyisakan ketegangan. “Ya,” jawabnya canggung. “Masnya, tinggal di mana?” tanyaku lagi. “Baciro,” jawab laki-laki itu spontan. Ya, aku tahu itu jawaban yang spontan, dan biasanya jujur. Orang yang menjawab spontan hampir tidak sempat berpikir untuk berbohong. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Segera aku bangkit berdiri sebelum laki-laki itu sempat menanyakan hal yang sama padaku. Setelah membayar minuman, aku bergegas pergi tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Aku merasa pandangan heran dan curiga di balik kacamata minusnya mengikuti kepergianku. Aku geli dan perutku tiba-tiba mual membayangkan kekonyolan yang baru saja terjadi. “Sialan! Dunia maya memang penuh kebohongan,” gerutuku dalam hati. Aku tidak tahu persis perasaanku saat itu, yang terbayang dalam benakku adalah film komedi lama yang dibintangi oleh Benyamin. S. Cerita tentang seorang pencopet yang kena copet, dan seorang penipu yang kena tipu. Sambil berjalan aku senyum-senyum sendiri dan setiap orang yang berpapasan memandangku dengan aneh. Namun tiba-tiba dadaku berdetak kencang, terbayang olehku tanda salib yang tersembul di balik baju laki-laki itu, “Entah misi apa yang sedang dijalankannya,” batinku bergidik. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya aku benar-benar seorang perempuan, bernama Lorita dan sedang menunggu di bawah pohon mahoni. *** Empat hari kemudian aku men-check e-mail di internet. Dalam inbox aku dapatkan pesan dari Hellen. Lorita. Kenapa kamu mengingkari janji. Aku sangat kecewa. Dua jam aku menunggumu di Boulevard, dan kamu tak datang. Kamu membuat rencana hari itu jadi berantakan. Ada apa denganmu sobat? Tidakkah kamu ingin bertemu denganku? Hellen ---hellen wrote: Aku geli membaca pesan itu. Mungkin ia benar-benar tidak tahu, atau sedang mencoba memastikan. Dengan jengkel kubalas pesan itu. Ini untuk yang terakhir. Reply: Hellen sayang. Aku menepati janji. Hari itu aku datang untukmu. Bukankah pagi itu kita lewati dengan sempurna? Kita bertemu dan membaca koran bersama. Lorita ---send*** Yogyakarta, Idul Fitri 1422 H Kutulis untuk sahabatku Nessy dan Elia di Batam Karena mereka cerpen ini terinspirasi